Kamis, 11 Juni 2009

Sujud Tilawah Membuat Setan Menangis dan Menjauh.

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan pun akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, lalu dia bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim)
Begitu juga hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.
Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah), terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَتَّى إِذَا فَرَغَ اللَّهُ مِنَ الْقَضَاءِ بَيْنَ الْعِبَادِ وَأَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ بِرَحْمَتِهِ مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ أَنْ يُخْرِجُوا مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا مِمَّنْ أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَهُ مِمَّنْ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. فَيَعْرِفُونَهُمْ فِى النَّارِ يَعْرِفُونَهُمْ بِأَثَرِ السُّجُودِ تَأْكُلُ النَّارُ مِنِ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ أَثَرَ السُّجُودِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ.
“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara hamba-hamba-Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”. Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”. Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim)
Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (memperbanyak shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?
Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ بَعْضُنَا مَوْضِعًا لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ
“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.
Menurut pendapat Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.
Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.
Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).
Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.Namun yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah sebuah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
قرأت على النبي صلى الله عليه و سلم { والنجم } . فلم يسجد فيها
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”
Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya lagi, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,
يا أيها الناس إنا نمر بالسجود فمن سجد فقد أصاب ومن لم يسجد فلا إثم عليه .
“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari)
Tata Cara Sujud Tilawah
[Pertama] Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua] Bentuk sujudnya sama dengan shalat biasanya.
[Ketiga] Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
[Keempat] Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima] Lebih utama sujud tilawah dimulai dari berdiri berdiri ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil mereka adalah:
إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً
“Apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107).
Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa.
Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Dil Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ . وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَتْ صَلَاةً فَلَا تُشْتَرَطُ لَهَا شُرُوطُ الصَّلَاةِ بَلْ تَجُوزُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ . كَمَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ ؛ لَكِنْ هِيَ بِشُرُوطِ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُخِلَّ بِذَلِكَ إلَّا لِعُذْرِ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang memiliki syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi, sujud tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
-bersambung insya Allah-***Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh TuasikalDisusun di sore hari di Pangukan, Sleman, 11 Jumadits Tsani 1430 H

Rabu, 10 Juni 2009

Beberapa dzikir yang di syariatkan sebelum tidur

Pertanyaan:
Apa saja dzikir yang disyari’atkan bagi seorang muslim sebelum tidur?
Jawaban:
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sebelum tidur beliau meniup kedua telapak tangannya sambil membaca surat Al Ikhlash (qul huwallahu ahad), surat Al Falaq (qul a’udzu bi robbil falaq), dan surat An Naas (qul a’udzu bi robbinnaas). Setelah itu beliau mengusap kedua tangan tersebut ke wajah beliau dan bagian tubuh yang dapat dijangkau [hal ini dilakukan sebanyak 3x, pen]. Inilah yang disyari’atkan setiap malamnya sebelum hendak tidur.
Sebagaimana pula ada tuntunan lain yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan pada ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma yaitu membaca bacaan tasbih (Subhanallah) sebanyak 33 x, bacaan tahmid (Alhamdulillah) sebanyak 33 x, dan bacaan takbir (Allahu Akbar) sebanyak 34 x. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa bacaan dzikir semacam ini lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pelayan. Sebab dianjurkannya dzikir ini di saat ‘Ali dan Fathimah meminta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang pelayan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Maukah aku tunjukkan pada kalian berdua yang lebih baik daripada pelayan.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bacaan tasbih tadi dan seterusnya.
Begitu pula semestinya sebelum tidur seorang muslim membaca ayat kursi. Begitu pula hendaknya dia membaca bacaan-bacaan dzikir yang telah dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semisal bacaan:
باسمك ربي وضعت جنبي وبك أرفعه، فإن أمسكتَ نفسي فاغفر لها وارحمها، وإن أرسلتَها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصالحين
“Bismika robbiy wadho’tu jambii wa bika arfa’uhu. Fa in amsakta nafsii faghfir lahaa war hamhaa. Wa in arsaltahaa fahfazh-haa bi maa tahfazh bihi ‘ibaadakash shoolihiin.” [Dengan nama-Mu wahai Rabbku, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu aku mengangkat lambung tadi. Jika Engkau menahan jiwaku, maka ampuni dan rahmatilah dia. Jika Engkau melepaskannya, maka tetap jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang sholeh]
Kaset PertamaLiqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah
***Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh TuasikalPogung Kidul, 16 Jumadits Tsani 1430 H

Menjawab Salam dari Pengirim Salam

Terkadang seseorang menyampaikan kepada kita titipan salam dari seroang teman kita nan jauh di sana dengan mengatakan kepada kita : “si Fulan titip salam buat antum” atau “antum dapat salam dari si Fulan” dan yang semisalnya. Bagaimana cara kita menjawabnya?
Cara Menjawab Salam Kepada Orang yang Menyampaikan dan Mengirim Salam
Oleh : Haifa’ bintu Abdillah ar-Rosyid
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (11/41) : “dan disukai untuk membalas (salam) atas orang yang menyampaikan.”
Ibnul Qoyyim berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/427) : “dan termasuk petunjuknya shollallohu alaihi wa sallam, jika seseorang menyampaikan kepadanya salam dari orang lain, ia membalas kepadanya dan kepada orang yang menyampaikan.”
Dan yang demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (5231), Ahmad (23104) dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubro (10133) “Bab : apa yang dikatakan jika dikatakan kepadanya : Sesungguhnya si Fulan menyampaikan salam kepadamu”.
Dan dari hadits seseorang dari Bani Numair (dan dalam Fathul Bari (11/41) : dari Bani Tamim) dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa ia mendatangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu ia berkata :
إن أبي يقرأ عليك السلام, قال: عليك وعلى أبيك السلام
“Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam kepadamu”, Nabi menjawab : “‘Alaika wa ‘ala abika as-salaam”. Dan di dalam sanad hadits ini ada jahaalah (rowi yang tidak dikenal), akan tetapi Al-Albani menghasankannya.
Dan yang demikian telah ada dari perbuatan 2 istri Nabi shollallohu alaihi wa sallam, Khodijah dan Aisyah rodhiyallahu anhuma, dan Nabi mentaqrir (menyetujui) mereka berdua :
1. Khodijah rodhiyallahu anha : dari Anas rodhiyallahu anhu ia berkata :
جاء جبريل إلى النبي صلى الله عليه وسلم وعنده خديجة وقال: إن الله يقرئ خديجة السلام, فقالت: إن الله هو السلام وعلى جبريل السلام وعليك السلام ورحمة الله
“Jibril datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan ada Khodijah di sisi Nabi, Jibril berkata : “Allah menyampaikan salam untuk Khodijah” Khodijah berkata : “Sesungguhnya Alloh-lah As-Salam, dan as-salam atas Jibril dan engkau wa rohmatullah” [HR. al-Hakim (4/175, an-Nasa’i dalam al-Kubro (10134), al-Bazzar (1903), dam Thobroni dalam al-Kabir (23/15 no. 25 dan 26)]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/172) : “dan dari hadits ini ada faidah membalas salam kepada orang yang mengirim salam dan kepada orang yang menyampaikan”.
2. Dari Aisyah rodhiyallohu anha, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata kepadanya :
يا عائشة، هذا جبريل يقرأ عليك السلام، فقالت: وعليه السلام ورحمة الله وبركاته، ترى مالا أرى – تريد النبي صلى الله عليه وسلم –
“wahai Aisyah, ini Jibril menyampaikan salam kepadamu” Aisyah menjawab : “wa ‘alaihis salaam wa rohmatulloh wa barokaatuh, engkau (Nabi) melihat apa yang tidak aku lihat.” [HR. al-Bukhori (3217) dan Muslim (2447)]
Akan tetapi ada tambahan pada Musnad al-Imam Ahmad (6/117) dari Aisyah rodhiyallohu anha, ia berkata : aku jawab :
عليك وعليه السلام ورحمة الله وبركاته
“‘Alaika wa ‘alaihis salaam wa rohmatulloh wa barokaatuh”.
Al-’Allamah al-Albani berkata dalam catatan kaki Shohih Adabil Mufrod (hal. 308-309) : “Sanadnya shohih”. Dan ini adalah tambahan yang penting dalam hadits ini. Wallohu A’lam wa billahit Taufiq.
[diterjemahkan saudara kami Abu SHilah dari al-Washiyyah bi Ba’dhi as-Sunan Syibhil Mansiyyah oleh Haifa bintu Abdillah ar-Rosyid, dari http://sahab.org]

Senin, 08 Juni 2009

Ta'aruf

OlehSyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaan.Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apabila seorang pemuda datang untuk meminang seorang putri apakah ia wajib melihatnya ? Apakah juga boleh perempuan itu membuka kepalanya agar tampak lebih jelas kecantikannya bagi pelamar ? Dengan hormat saya mohon penjelasannya.Jawaban.Tidak apa-apa, akan tetapi tidak wajib. Dan dianjurkan kalau ia melihat perempuan yang dilamar dan perempuan itu juga melihatnya, karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada lelaki yang melamar seorang perempuan agar melihatnya.Yang demikian itu adalah lebih menumbuhkan rasa cinta kasih diantara keduanya. Jika perempuan itu membuka muka dan kedua tanganya serta kepalanya maka tidaklah mengapa. Sebagian Ahli ilmu (Ulama) berpendapat : Cukup muka dan kedua tangan saja. Pendapat yang shahih adalah tidak ada pelamar melihat kepala (perempuan yang dilamar), muka, kedua tangan dan kedua kakinya, berdasarkan hadits di atas.Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan secara berduaan, melainkan harus didampingi oleh ayah perempuan itu atau saudaranya yang laki-laki atau lainnya. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Jangan sampai seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, kecuali didampingi oleh mahramnya". [Muttafaq 'alaihi]Sabda beliau juga."Artinya : Tiada seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan melainkan yang ketiganya adalah syetan". [Riwayat Imam At-Turmudzi dan Imam Ahmad dari hadits Ibnu Umar, dari hadits Jabir dan dari hadits 'Amir bin Rabi'ah][Majalah Al-Buhuts Al-Ilmiyah, edisi 136 dan 137, Fatwa Ibnu Baz][Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]